orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
berlelah-lelahlah, manisnya hidup akan terasa setelah lelah berjuang
aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan
jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang
singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa
anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran
jika matahari di orbitnya tidak bergerak terus dan terus diam
tentu manusia akan bosan padanya dan enggan memandang
bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang
kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa
jika di dalam hutan
"Imam Syafii"
Bahan renunganku sebelum aku memasuki gerbang 19. Aku hampir mencapai garis finish 18. Apakah aku pemenangnya? Entahlah.. ku rasa bukan. 18 kulewati hampir sama dengan gerbang sebelum-sebelumnya. Pada garis start begitu semangat, namun pertengahan track mulai terlihat siapa aku sebenarnya. Pribadi yang malas, munafik, bermuka dua, sombong, pendendam, egois, sok tau, sok innocent, pembohong, hha menyedihkan mendapati dirimu yang sebenarnya saat kau telah lepas landas. Tak punya daya yang cukup untuk mengatasinya (mengakuinya). Satu-satunya cara, mencari pemberhentian sementara untuk BERPIKIR. Namun berpikir juga tak menyelesaikannya. Lalu apa terus berlari bisa mengatasinya?
Subuh ini, keinginanku untuk pergi membakar hatiku. Ingin sekali ku tantang ombak, gunung, dan jurang di hadapanku. Menaklukkannya dengan caraku. Sudah cukup suapan dari orang tua. Kata Imam Syafi’I membakar keinginanku. Aku tau aku bisa. Berhasil tidaknya, itu usahaku. Yang aku butuhkan hanya kesempatan dan dukungan untuk berdiri dengan kakiku sendiri. Berhadapan dengan ombak, gunung dan jurang yang selama ini hanya kuketahui lewat kaca jendelaku.
Kata-kata Imam Syafi’I begitu menyindirku, ”orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman. tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang. merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan. berlelah-lelahlah, manisnya hidup akan terasa setelah lelah berjuang.” Aku sadar, kehidupan diluar sana tak akan seramah lingkungan sekitar rumahku atau lingkungan di tempatku menuntut ilmu sekarang. Aku juga sadar, mungkin aku akan terserang shock culture. Namun jiwaku yang lama terkurung mulai menggedor-gedor pintu hatiku untuk keluar dari tempat lamanya. “air yang diam tertahan akan rusak” mengkin begitu pikirnya. Aku juga meyakini itu..
Sebelum aku mencapai gerbang 19, aku harus menentukan dimana sebenarnya garis start yang tepat untukku. Meski itu berarti aku haru berlari lebih jauh dan lama, namun ku tau “manisnya hidup akan terasa setelah lelah berjuang”
Di depan TV, rintik hujan bernyanyi untuk subuh.
1 Juni 2010|4.28 AM
No comments:
Post a Comment