Aug 20, 2010

Adab Membaca Al Qur'an

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. :)

Alhamdulillah, sekarang sudah tanggal 20 Agustus means udah puasa yang ke 10. Ga terasa banget yahh.. I’m going to miss Ramadhan when its gone. Alhamdulillah, puasa tahun ini gw ngerasain banget yang namanya berpuasa/beribadah. Berusaha mendekatkan diri padaNya. Memperbaiki habit, meski terseok-seok, namun insyaAllah berubah. Allah ga akan mengubah keadaan suatu kaum kecuali ia sendiri yang mengubahnya. (gw ga bisa mungkir dari hal itu. It’s TRUE!)

Well, sekarang gw mau share sedikit info seputar membaca Al Qur’an. Bukan cara bacanya ato gimana cara supaya kita bisa lancar bacanya, tapi gimana kita mestinya berperilaku terhadap Al Qur’an. Membaca Al Qur’an itu sama halnya ketika kita berdialog dengan Allah SWT. Jadi sudah sepatutnyalah jika kita harus memperhatikan adab-adab bercengkerama dengan firman Allah SWT dalam kitabNya yang suci yang diturunkan kepada manusia yang paling suci oleh yang Maha Suci.

Postingan kali ini gw ga buat sendiri (secara wawasan gw soal agama masih cetek banget). Gw salin (semalam suntuk abis dari taraweh sampe jam 3! -_-“) dari buku yang dibawa sama ibu gw dari Malang, yang jadi favorit gw bulan ini, The Complete Book of Zikir karya Imam An Nawawi. Imam An Nawawi adalah seorang ulama besar kenamaan dalam bidang fikih, hadits, dan bahasa yang mewariskan berbagai peninggalan berharga. Yahh, gw ga tau banyak soal beliau. Maybe next post I’ll write about him.

###

Dalam Sunan Abu Daud dan Musnad Ad Darami, Sa’ad bin Ubaidah r.a. menceritakan sabda Rasulullah saw., “Barang siapa membaca Al Qur’an kemudian melupakannya, pada hari Kiamat nanti, Allah akan membangkitkan dalam kondisi cacat tubuh.”1

1Abu Daud (no. 1474); Ad Darami (no. 3340). Al Mundziri berkata, “ Dalam sanad hadits ini terdapat perawi yang bernama Yazid bin Abu Ziyad Al Hasyimi Al Kuffi. Hadits yang diriwayatkan Yazid tidak bisa diterima sebagai dalil. Selain itu, ada juga perawi bernama Isa bin Qa’id. Dia meriwayatkan hadits ini dari seorang yang mendengar dari Sa’ad bin Ubaidah. Berarti hadits ini berstatus munqathi (terputus).”



Berikut ini beberapa adab bagi pembaca Al Qur’an:

a. Anjuran pertama bagi para pembaca Al Qur’an adalah ikhlas dalam membacanya. Hendaknya mereka berniat hanya karena Allah SWT dan tidak berniat selain itu. Kemudian, mereka harus menjaga tata krama terhadap Al Qur’an. Mereka harus menyadari dengan sepenuh hati bahwa mereka sedang berdialog dengan Allah dan sedang membaca firman Allah. Hendaknya mereka membaca Al Qur’an dalam kondisi seolah-olah melihat Allah. Jika tidak mampu, yakinlah bahwa Allah melihat mereka.

b. Alangkah lebih baiknya apabila sebelum membaca Al Qur’an, seseorang membersihkan mulutnya dengan siwak atau dengan yang lain. Dalam pemilihan kayu untuk siwak, hendaknya digunakan kayu jenis arak. Namun, siwak dengan kayu jenis lain juga diperbolehkan, seperti kayu idan, sa’ad, asynan, cuilan benda keras dan benda lain yang berfungsi membersihkan.

c. Adapun bersiwak menggunakan jari tangan, para ulama sahabat Imam Syafi’i memiliki tiga pendapat. Pertama, ini pendapat yang paling populer, membersihkan mulut dengan jari tangan masih belum bisa dianggap bersiwak. Kedua, membersihkan mulut dengan jari tangan sudah bisa dianggap bersiwak. Ketiga, jika tidak ada alat lain, membersihkan mulut dengan jari tangan sudah bisa dianggap bersiwak. Namun, jika ada alat yang lain, jari tangan tidak bisa dianggap sebagai siwak.

d. Bersiwak hendaknya dimulai dari arah mulut sebelah kanan dan berniat menunaikan sunnah. Sebagian ulama Asy Syafi’iyah mengatakan, “Saat bersiwak, hendaknya dibaca doa, Allahumma barik fihi ya Arhamar Rahimin (Ya Allah, dengan bersiwak ini, berkahilah aku, wahai Zat yang Maha Pengasih diantara orang-orang yang pengasih).” Baik gigi bagian luar maupun gigi bagian dalam, semua menjadi objek gosokan siwak. Dengan lemah lembut, siwak digerakkan disetiap sisi gigi, permukaan gigi, dan langit-langit mulut. Hendaknya menggunakan siwak kayu berukuran sedang, tidak terlalu keras dan tidak terlalu lembek. Jika kayu siwak tampak sangat kering, hendaknya dilembekkan dengan air.

e. Apabila dalam mulut terdapat najis, darah, atau yang lain, sebelum dibersihkan, seseorang dimakruhkan untuk membaca Al Qur’an. Dalam kondisi mulut bernajis, apakah Al Qur’an diharamkan? Ada dua pendapat. Namun, pendapat yang paling kuat kebenarannya adalah tidak diharamkan.

f. Dalam membaca Al Qur’an, hendaknya seseorang menyertakan rasa khusyuk, penuh penghayatan, dan kerendahan hati. Inilah tujuan pokok yang diharapkan dalam membaca Al Qur’an. Dengan begitu hati seseorang akan terasa lapang dan terang bercahaya. Dalil-dalil tentang hal ini sangat banyak dan terlalu populer untuk disebut. Dikisahkan, ada sekelompok ulama salaf yang gemar terjaga pada waktu malam. Salah seorang diantara mereka, ada yang membaca satu ayat Al Qur’an dalam waktu semalam suntuk atau dalam sebagian besar waktu malam. Hal itu terjadi karena dia sangat menghayati bacaan Al Qur’annya. Bahkan, karena kekhusyukan dan penghayatan mendalam terhadap bacaan Al Qur’an, ada sebagian ulama salaf yang pingsan dan adapula yang meninggal dunia.

g. Saat membaca Al Qur’an, seseorang disunnahkan untuk menangis. Hendaknya berpura-pura menangis jika seseorang belum mampu untuk menangis. Tangisan saat membaca Al Qur’an adalah salah satu sifat orang-orang yang makrifat dan menjadi syiar bagi hamba-hamba Allah yang saleh. Allah Swt. telah berfirman, “… dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk”(QS Al Isra’, 17:109).

h. Dalam kitab Al Tibyanu Fi Adabi Hamlati Al Qur’aini, telah diturunkan banyak atsar tentang masalah ini. As Sayyid Al Jalil, sang pemilik karamah dan makrifat, Ibrahim Al Khawash berkata, “Obat hati ada lima perkara: membaca Al Qur’an dengan penghayatan, perut kosong, shalat malam, berzikir dan berdoa khusyuk pada waktu sahur, dan mengikuti majelis orang-orang saleh.”

i. Membaca Al Qur’an dengan mushaf lebih utama daripada membaca dengan hapalan yang dimilikinya. Hal tersebut didasari pada pendapat para ulama Asy Syafi’iyah dan menjadi pendapat populer para ulama salaf. Akan tetapi, demikian ini tidak secara mutlak. Artinya, apabila membaca Al Qur’an dengan hapalan disertai penghayatan dan perenungan, diiringi kesadaran hati dan pandangan, serta mampu mengambil ibrah lebih banyak daripada membaca mushaf Al Qur’an, membaca dengan hapalan yang dimilikinya dapat dikatakan lebih utama. Akan tetapi, apabila dalam kondisi setara, membaca Al Qur’an dengan mushaf lebih utama. Ini yang dimaksudkan oleh para ulama salaf.

j. Ada beberapa atsar yang menjelaskan keutamaan membaca Al Qur’an dengan suara keras. Akan tetapi, dalam beberapa atsar yang lain, ada pula yang menjelaskan keutamaan membaca Al Qur’an dengan suara pelan.

k. Dalam upaya menggabungkan kedua atsar yang seolah bertentangan tersebut, para ulama berkata, “Membaca Al Qur’an dengan suara pelan dapat menghindarkan seseorang dari sifat riya’. Ini lebih utama bagi orang-orang yang khawatir akan sifat riya’ dalam dirinya. Sementara itu, bagi orang-orang yang tidak merasa khawatir akan sifat riya’ dalam dirinya, membaca Al Qur’an dengn suara keras lebih diutamakan dengan syarat bacaan keras mereka tidak mengganggu orang lain, seperti orang yang sedang shalat, orang tidur, atau yang lainnya. Adapun dalil keutamaan membaca Al Qur’an dengan suara keras, pelaksanaannya adalah suatu keagungan dan biasanya bisa memberikan manfaat kepada orang lain. Bacaan keras juga dapat menyadarkan hati pembaca, membuat fokus pikiran, dan memusatkan pendengaran. Selain itu, bacaan keras dapat mengusir rasa kantuk, menambah kerajinan, menyadarkan orang lain yang tertidur dan terlena sehingga bisa menjadi rajin. Apabila seseorang yang membaca Al Qur’an mampu memberikan reaksi positif seperti itu, bacaan keras lebih utama baginya.

l. Dalam membaca Al Qur’an disunnahkan untuk memperindah suara dan menghiasinya dengan seni. Namun, semua ini tidak boleh melebihi batas-batas aturan dalam pembacaan Al Qur’an, seperti membaca bacaan panjang dengan berlebih-lebihan. Haram hukumnya membaca Al Qur’an dengan penyelewengan hingga menambahkan satu huruf atau menghilangkan satu huruf. Adapun hokum membaca Al Qur’an dengan dengan dilagukan, sebagaimana telah dijelaskan, apabila terjadi penyelewengan dalam pembacaan, hukumnya haram. Namun, apabila tidak terjadi penyelewengan, membaca dengan dilagukan tidaklah haram. Banyak sekali hadits-Hadits sahih dan populer yang menjelaskan penganjuran memperindah suara saat membaca Al Qur’an.

m. Ketika membaca Al Qur’an mulai dari pertengahan surat, seseorang disunnahkan untuk memulai dari awal dialog yang memiliki korelasi antara satu ayat dan ayat yang lainnya. Demikian juga saat berhenti , sebaiknya bacaan berhenti di suatu ayat yang masih memiliki korelasi dan di akhir dialog. Saat memulai atau menghentikan bacaan Al Qur’an tidak terikat pada standar ukuran juz, hizib, atau sepersepuluh juz. Kebanyakan standar ukuran juz, hizib, dan sepersepuluh juz berada di pertengahan dialog. Janganlah sampai tertipu dengan hal itu. As Sayyid Al Jalil Abu Ali Al Fudhail bin Iyadh r.a. berkata, “Jangan pernah engkau merasa asing untuk meniti jalan kebenaran karena hanya sedikit orang yang meniti jalan itu. Jangan engkau tertipu dengan banyaknya jumlah orang yang berbuat kerusakan.”

n. Senada dengan ucapan tersebut, para ulama mengatakan, “Membaca satu surat dalam Al Qur’an dengan sempurna, lebih utama daripada membaca sebagian ayat dalam surat yang panjang. Karena dengan membaca sebagian ayat saja dalam suatu surat, di beberapa kondisi dan tempat, banyak orang yang kehilangan korelasi ayat.”

o. Diantara perbuata bid’ah yang dilakukan oleh orang-orang yang menunaikan shalat tarawih, mereka membaca seluruh ayat surat Al An’am dalam rakaat terakhir pada malam ketujuh Ramadhan dengan keyakinan bahwa perbuatan itu disunnahkan. Mereka beranggapan bahwa seluruh ayat dalam surat Al An’am diturunkan secara sekaligus. Pada perbuatan mereka itu terkumpul beberapa tindak kemungkaran. Pertama, mereka berkeyakinan bahwa perbuatan mereka adalah sunnah. Kedua, mereka menciptakan kesalahpahaman orang awam. Ketiga,Keempat, hal itu membuat lama berdiri (shalat) para makmum. Kelima, kadang-kadang pembacaannya sangat cepat seperti igauan. Keenam, berlebih-lebihan dalam menganggap ringan rakaat-rakaat sebelumnya. mereka memanjangkan bacaan dalam rakaat kedua melebihi panjang bacaan rakaat pertama.

p. Boleh hukumnya membaca suatu surat dalam Al Qur’an dengan nama surat Al Baqarah, surat Ali ‘Imranm surt An Nisa’, surat Al Ankabut, atau surat yang lain. Penyebutan nama surat seperti itu tidak dimakruhkan. Namun, menurut sebagian ulama salaf, penyebutan seperti itu hukumnya makruh. Akan tetapi, hal yang diperbolehkan adalh mengatakan bahwa surat yang didalamnya menjelaskan kaum wanita (An Nisa’). Penyebutan seperti ini juga berlaku untuk surat-surat yang lainnya.

q. Dari dua pendapat ini, pendapat pertama yang dinilai lebih benar. Pendapat ini menjadi pilihan mayoritas ulama umat Islam, baik ulama klasik maupun modern. Sementara itu, hadits dari Rasulullah yang menjelaskan hal ini sangat banyak, tidak terhitung jumlahnya. Demikian pula jumlah atsar para sahabat Nabi dan para tabiin, tidak terhitung jumlahnya.

r. Tidak dimakruhkan jika seseorang berkata bahwa bacaan ini sesuai dengan bacaan Abu Amr, Ibnu Katsir, atau ulama yang lain. Ini menurut pendapat mazhab sahih yang dipilih para ulama klasik dan modern. Tiada keingkaran dalam masalah ini. Hanya, Ibrahim An Nakha’I berkata, “Para ulama menghukumi makruh bagi orang yang mengatakan sesuai dengan sunnah si Fulan atau sesuai bacaan si Fulan.” Akan tetapi yang paling benar adalah sebagai mana yang telah dijelaskan sebelumnya.

s. Makruh hukumnya mengatakan, “Aku telah lupa ayat ini atau surat itu.” Alangkah lebih baiknya apabila seseorang berkata, “Aku telah dilupakan terhadap ayat atau surat ini. Aku belum ingat ayat atau surat ini.”



Sumber: The Complete Book of Zikir. Mutiara Lengkap Zikir dan Doa Rasulullah SAW. Imam An Nawawi.